Jam Gadang
Sumber : Wikipedia
Koordinat: 0,30521°LS 100,3694°BT
Jam Gadang terlihat dari kejauhan di salah satu sudut kota Bukittinggi sekitar tahun 1926–1940
Jam Gadang adalah nama untuk
menara jam yang terletak di pusat
kota Bukittinggi,
Sumatera Barat,
Indonesia. Menara jam ini memiliki
jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan
bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Selain sebagai
pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai
objek wisata dengan diperluasnya
taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di
hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Struktur
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4
meter.
Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa
tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan
bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat
gempa pada tahun
2007.
Terdapat 4
jam dengan
diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari
Rotterdam,
Belanda melalui
pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh
mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan
Big Ben di
London,
Inggris.
Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat
paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu
Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard
Vortmann, sedangkan
Recklinghausen adalah nama kota di
Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan
besi peyangga dan adukan
semen. Campurannya hanya
kapur,
putih telur, dan pasir putih.
Sejarah
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur
Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh
Yazid Rajo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000
Gulden,
biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak
dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat
perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang
kemudian dijadikan sebagai penanda atau
markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan
pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam
jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa
pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk
pagoda. Terakhir setelah
Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat
Minangkabau,
Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun
2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan
pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di
Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.